Taman Hutan Kota Tibang-Napas Baru di Pinggiran Sungai Banda Aceh

 

Oleh: Siti Hajar

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan kota, ada kebutuhan dasar manusia yang seringkali terlupakan: ruang untuk bernapas, untuk merasa kembali kecil di tengah semesta hijau yang lebih besar dari dirinya sendiri. Banda Aceh, kota yang pernah mengalami luka terdalamnya pada 2004, perlahan-lahan membangun kembali tidak hanya gedung-gedungnya, tapi juga jiwanya. Salah satu upaya itu tumbuh di pinggir sungai, di sudut yang dahulu sepi dan berdebu, kini menjadi taman hijau yang hidup — Taman Hutan Kota Tibang.

Di bagian timur Kota Banda Aceh, ada sebuah ruang hijau yang tumbuh perlahan tapi pasti, membangun harapan dari tanah yang dulu pernah sunyi setelah dihantam tsunami. Namanya Taman Hutan Kota Tibang, sebuah taman yang kini menjadi kebanggaan kecil warga kota, tersembunyi di Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala.

Taman kota ini sempat sepi saat badai covid-19 empat tahun silam . Walau saat itu tidak banyak pengunjung, tetapi satu dua orang tetap setia menikmatinya apalagi saat itu sangat dianjurkan tidak berkumpul-kumpl di keramaian.

Saat itu, tempat ini menjadi tempat yang sering saya dan keluarga untuk berolahraga atau hanya sekadar duduk santai di sore hari.

Tak sulit menemukannya — cukup berkendara sekitar lima belas menit dari pusat kota, dan begitu tiba, dan 5 menit dari kampus Darussalam kita akan langsung disambut rimbunnya pepohonan dan hembusan angin segar dari sungai yang mengalir di dekatnya.

Awalnya, lahan ini hanyalah bekas tambak kosong, bagian dari luka besar pascatsunami 2004. Namun perlahan, lewat tangan-tangan yang peduli — Pemerintah Kota Banda Aceh, Bank BNI, dan Yayasan Bustanussalatin — tempat ini berubah menjadi ruang hidup baru.

Sekitar 6,75 hektare luasnya, dipenuhi lebih dari 3.500 pohon dari 150 jenis tanaman Nusantara. Beberapa pohon bahkan terbilang langka, seperti jeumpa puteh, jeumpa kuneng, jampee, bak manee, jati emas, dan bak gelumpang. Setiap pohon diberi nama, lengkap dalam bahasa Latin, Indonesia, dan Aceh, membuat setiap langkah terasa seperti menyusuri museum hidup tentang kekayaan hayati.

Yang membuat Taman Hutan Kota Tibang berbeda bukan hanya hijaunya pepohonan, tapi juga jejak sejarah yang bersemayam di dalamnya. Di antara rimbunan pohon, ada makam-makam tua dari masa Kerajaan Aceh. Tidak banyak yang tahu, tapi kehadiran makam ini seakan mengikatkan taman ini pada cerita panjang kota Banda Aceh yang tak pernah lepas dari sejarah besar dan warisan budayanya.

Taman ini dibangun tidak hanya untuk dipandang, tetapi untuk dihidupi. Fasilitas di dalamnya cukup lengkap: ada taman bermain anak-anak, lapangan basket sederhana, mushala kecil yang bersih, toilet umum, dan jalur wisata mangrove yang adem. Salah satu sudut favorit pengunjung adalah jembatan gantung besi sepanjang 12 meter yang melintasi kolam ikan — tempat yang hampir selalu ramai oleh anak-anak muda yang ingin mengabadikan momen.

Yang menarik, Taman Kota Tibang bukan lagi sekadar tempat untuk bersantai. Sekarang, taman ini telah menjadi bagian dari rutinitas sehat warga sekitar.

Setiap pagi dan sore, lintasan jogging yang mengelilingi taman dipenuhi langkah-langkah semangat — dari pelajar, adik-adik mahasiswa serta ibu-ibu muda dan juga para pekerja, tidak hanya joging, beberapa warga juga rutin bermain bola voli di lapangan terbuka, sementara yang lain asyik menggelar pertandingan bulu tangkis santai di bawah bayangan pepohonan. Suasananya hidup, penuh tawa, dan kadang terdengar suara pukulan bola bercampur obrolan akrab yang menggantung di udara sore.

Semua ini bisa dinikmati tanpa membayar tiket masuk. Taman Hutan Kota Tibang membuka pintunya setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 18.30 WIB. Pengunjung hanya perlu merogoh kocek Rp2.000 untuk biaya parkir — sebuah harga kecil untuk pengalaman yang begitu berharga.

Melangkah di bawah kanopi pepohonan di Taman Kota Tibang terasa seperti berjalan di dalam doa yang dikabulkan: doa agar dari kehancuran, lahir kembali kehidupan. Di tempat ini, Banda Aceh menulis kisah baru tentang harapan, tentang bagaimana alam, manusia, dan sejarah bisa saling merawat dan bertumbuh bersama.

Taman Kota Tibang mungkin tidak semegah taman-taman kota di dunia besar, tapi justru di situlah keindahannya. Ia sederhana, alami, dan menghidupkan. Ia bukan hanya tempat untuk berswafoto atau berolahraga, melainkan ruang di mana warga Banda Aceh bisa menemukan kembali hubungan yang intim dengan alam, dengan sejarah, dan dengan sesama manusia.

Di setiap helaan napas yang lebih dalam, di setiap keringat yang menetes di lintasan joging, taman ini membisikkan satu pesan sederhana: bahwa hidup, pada akhirnya, adalah tentang bertumbuh bersama, sesederhana pohon-pohon yang kini menaunginya.

 

Lebih baru Lebih lama