![]() |
Sumber Foto: Koleksi Pribadi Penulis |
Oleh: Siti Hajar
Rumoh Geudong pernah berdiri
sebagai saksi bisu dari masa tergelap dalam sejarah Aceh. Di sanalah, di sebuah
rumah kayu di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, derita
manusia dipertontonkan tanpa belas kasihan. Pada masa Darurat Militer, rumah
itu bukan sekadar tempat interogasi—itu adalah pusat penyiksaan. Neraka di atas
tanah sendiri. Kini, tempat itu diberi nama baru: Living Park. Nama yang
terdengar indah, tapi mematikan ingatan.
Padahal rumah yang kini dipoles
sebagai “taman hidup” itu dulunya adalah neraka. Tempat di mana
nyawa-nyawa dicabut secara paksa oleh serdadu biadab yang menjadikan kekuasaan
sebagai topeng kebengisan. Di dalam bangunan itu, manusia bukan lagi manusia.
Ia menjadi objek perlakuan keji, hina, dan tak berperi. Tangisan anak-anak muda
yang diseret tanpa alasan, teriakan perempuan yang direnggut kehormatannya, dan
tubuh-tubuh yang dibuang tanpa nisan—semuanya nyata. Semuanya pernah terjadi.
Mereka yang dibawa ke sana jarang
kembali. Banyak yang hilang, tak lagi pulang ke keluarganya. Tubuh mereka
hancur oleh siksaan; yang selamat pun hanya menyisakan tubuh kosong yang
trauma. Remaja, ibu rumah tangga, petani, pelajar—semua bisa menjadi sasaran,
hanya karena diduga bersimpati kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau bahkan
hanya karena berkerabat dengan seseorang yang menjadi target. Tak ada proses
hukum, tak ada pembelaan. Hanya pukulan, sundutan rokok, siraman air panas, dan
pelecehan yang menjijikkan.
Di dalam rumah itu, jeritan
menggema setiap malam. Punggung-punggung dipecut, tulang-tulang dipatahkan, dan
perempuan-perempuan dicabik kehormatannya oleh mereka yang mengaku membela
negara. Tentara-tentara Indonesia kala itu menjalankan kekuasaan dengan
kebrutalan yang mengabaikan nilai kemanusiaan. Di balik pagar rumah itu,
keadilan terkubur bersama harapan dan nyawa.
Sekarang, tempat itu diubah
menjadi taman. Ada bangku-bangku, tanaman hias, dan tulisan besar bertuliskan Living
Park seolah ingin menghapus masa lalu yang berdarah. Seolah-olah luka yang
dalam bisa disamarkan dengan nama yang indah. Nama itu sendiri seakan menjadi
upaya sistematis untuk mengaburkan sejarah. Menghapus jejak kezaliman yang
pernah dilakukan oleh institusi resmi negara.
Orang-orang datang ke sana kini
untuk berfoto, bersantai, menikmati suasana. Tak banyak yang tahu, atau mungkin
tak ingin tahu, bahwa mereka sedang duduk di atas tanah yang pernah basah oleh
darah dan air mata. Mereka tidak melihat jejak-jejak kuku di dinding, tidak
mendengar tangis perempuan yang direnggut paksa martabatnya, tidak mencium bau
anyir yang pernah membanjiri lantai kayu.
Bagi yang selamat, tempat itu tak
pernah bisa disebut taman. Bagi mereka yang pernah kehilangan, nama
"Living Park" terasa seperti penghinaan. Karena hidup yang sebenarnya
sudah dirampas dari tempat itu. Karena yang hidup hari ini pun masih membawa
luka lama yang belum pernah benar-benar disembuhkan.
Rumoh Geudong seharusnya menjadi
monumen peringatan, bukan objek wisata. Ia adalah bukti sejarah—bukan sekadar
bangunan tua yang dipoles ulang. Penamaan baru itu bukan hanya upaya melupakan,
tapi bentuk kekerasan baru: kekerasan terhadap ingatan kolektif bangsa Aceh.
Sejarah tidak bisa dihapus dengan
papan nama. Kebenaran tidak bisa dikubur di bawah rumput taman. Dan bangsa yang
besar, adalah bangsa yang berani mengakui lukanya sendiri—bukan
menyembunyikannya di balik eufemisme.
Rumoh Geudong bukan Living
Park. Ia adalah luka Aceh yang seharusnya tetap terbuka, agar generasi
mendatang tahu bahwa kekuasaan yang tak dikendalikan nurani bisa mengubah rumah
menjadi penjara, taman menjadi nisan, dan negara menjadi pelaku kekejaman atas
rakyatnya sendiri. []