Oleh: Siti Hajar
Aceh, akhir Desember 2004. Laut mengamuk, bumi
seolah patah, dan langit seperti ikut berduka. Dalam hitungan menit, gelombang
tsunami menghancurkan peradaban yang telah berakar selama ratusan tahun. Ribuan
rumah sirna. Sekolah, masjid, pelabuhan, jalan raya, bahkan keluarga-keluarga
yang utuh berubah menjadi catatan kehilangan. Tapi di tengah kehancuran yang
luar biasa itu, satu hal tetap menyala: semangat untuk bangkit.
Banyak yang bertanya—siapa yang membangun kembali
Aceh? Siapa yang menjahit kembali luka kolektif itu? Jawabannya bukan satu,
bukan dua, melainkan banyak. Banyak tangan, banyak hati, banyak kepala yang
bersatu demi satu tujuan: menyembuhkan Aceh.
Dari sisi negara, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat itu tidak tinggal diam. Negara perlu hadir, dan kehadiran itu
bukan sekadar janji. Dibentuklah BRR NAD–Nias, sebuah lembaga yang
langsung bekerja di bawah koordinasi presiden, dipimpin oleh Kuntoro
Mangkusubroto, seorang teknokrat yang dikenal tegas dan bersih. BRR bukan
hanya mesin pembangunan, tetapi juga jembatan koordinasi antara pemerintah,
donor, LSM, dan masyarakat. Gedung demi gedung dibangun, rumah sakit
direhabilitasi, irigasi dipulihkan, dan rumah-rumah baru menjamur—dengan tetap
mempertahankan identitas Aceh yang khas.
Tapi bukan pemerintah saja yang bekerja. Dunia
bergerak. Negara-negara dari lima benua mengirim bantuan. Dari dana milyaran
dolar, hingga relawan yang tinggal di tenda darurat demi membantu korban
trauma. Organisasi seperti UNDP, World Bank, ADB, USAID, JICA, semua
hadir. Mereka membawa teknisi, perencana kota, psikolog, dan relawan. Di antara
mereka ada yang tinggal bertahun-tahun di Aceh, menjalin persahabatan yang
melampaui bahasa dan kebangsaan.
Organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah,
Save the Children, Oxfam, dan berbagai LSM internasional turut menancapkan
akar di tanah Aceh. Mereka mendirikan sekolah darurat, membantu pencarian
jenazah, mendampingi anak-anak yatim, hingga melatih warga lokal agar siap
menghadapi bencana berikutnya. Beberapa membangun hunian permanen, yang hingga
kini masih ditempati ribuan keluarga.
Namun di balik sorotan internasional, masyarakat
Aceh sendiri adalah pilar paling kokoh dalam proses penyembuhan. Warga
membentuk kelompok swadaya, membantu mendistribusikan bantuan, dan membuka
lahan baru untuk memulai hidup dari awal. Mereka tidak sekadar menunggu, mereka
ikut bekerja. Dalam balutan baju sederhana, mereka memikul bata, memotong kayu,
menanam padi, dan memeluk satu sama lain dalam duka yang sama.
Universitas-universitas lokal, seperti Universitas
Syiah Kuala, menjadi pusat pengetahuan sekaligus basis harapan. Kampus
bukan hanya tempat belajar, tapi juga posko, pusat distribusi logistik, dan
ruang diskusi tentang masa depan Aceh. Dari situ lahir gagasan-gagasan segar:
bagaimana membangun tanpa mengulang kesalahan, bagaimana merancang rumah tahan
gempa, bagaimana memperkuat daya lenting komunitas.
Yang mengejutkan, justru di tengah reruntuhan
itulah sebuah peluang damai muncul. Konflik bersenjata yang telah merobek Aceh
selama lebih dari tiga dekade akhirnya berhenti. Perjanjian damai antara
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diteken di Helsinki pada 15
Agustus 2005. Tsunami bukan hanya menyatukan dunia, tapi juga menyatukan dua
pihak yang lama berseteru. Dari bencana, lahirlah perdamaian.
Kini, dua dekade setelah bencana, Aceh perlahan
kembali tumbuh. Gedung-gedung telah berdiri. Anak-anak yang dulu diselamatkan
kini telah beranjak dewasa. Tapi kenangan itu tetap hidup. Aceh hari ini adalah
monumen dari kerja bersama—antara negara dan rakyatnya, antara bangsa Indonesia
dan komunitas global, antara manusia dan harapannya sendiri.
Dan mungkin, dari semua yang dibangun, yang paling
kuat bukanlah jembatan baja atau rumah beton, tetapi rasa percaya bahwa
dunia masih punya hati. Bahwa ketika bumi menguji kita dengan luka
terdalamnya, manusia masih sanggup menjawabnya dengan cinta yang tak terbatas.
Kini, ketika pagi kembali menyapa Aceh dengan
desir ombak yang tenang dan langit biru yang tak lagi muram, kita tahu bahwa
luka itu, meski tak hilang, telah berubah menjadi kekuatan. Di Lapangan Blang
Padang, Kota Banda Aceh, berdiri sebuah Taman Tsunami yang sederhana
namun penuh makna—sebuah Monumen Terima Kasih yang diukir dalam berbagai
bahasa dunia. Di sanalah Aceh, dengan kerendahan hati yang mendalam,
menyampaikan ucapan terima kasih kepada setiap bangsa, setiap lembaga, setiap
jiwa yang pernah datang membawa harapan.
Aceh tidak pernah sendiri. Dalam masa tergelapnya,
dunia datang dan menggenggam tangannya. Kepada United Nations
Development Programme (UNDP), World Bank, Asian Development Bank
(ADB), United Nations Children’s Fund (UNICEF), United Nations
Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), dan International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)—Aceh berterima
kasih atas dedikasi dan kerja nyata yang melampaui batas geografis dan bahasa.
Kepada USAID,
JICA (Japan International Cooperation Agency), AusAID, dan European
Union (EU) yang mengalirkan bantuan pembangunan dan teknis secara
berkelanjutan, Aceh menyimpan nama-nama itu dalam sejarah yang tak akan lekang.
Juga kepada berbagai NGO internasional seperti Oxfam, Save the
Children, Mercy Corps, Islamic Relief, Médecins Sans Frontières (Doctors
Without Borders), CARE International, World Vision, dan Plan
International, yang bukan hanya datang membawa bantuan, tetapi juga hadir
bersama masyarakat, menyeka air mata, menggenggam tangan para penyintas, dan
menjadi bagian dari keluarga besar Aceh.
Tak kalah
penting, lembaga-lembaga lokal dan nasional—mulai dari Universitas Syiah
Kuala, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, hingga
relawan-relawan dari Sabang sampai Merauke—semuanya berperan membangkitkan
semangat yang sempat hilang.
Monumen di Blang Padang itu bukan sekadar simbol.
Ia adalah suara Aceh yang bersyukur. Ia berkata dalam sunyi, bahwa setiap batu
bata yang kini kokoh, setiap langkah anak-anak yang kembali bersekolah, dan
setiap doa yang terucap di masjid-masjid dan gereja-gereja yang dibangun
kembali, semuanya tak lepas dari kebaikan hati dunia.
Aceh tak akan pernah lupa. Dalam setiap zikir
pagi, dalam setiap langkah pembangunan, dan dalam setiap pelukan antara mereka
yang dulu kehilangan, tersimpan rasa terima kasih yang tak berujung. Dari Tanah
Rencong yang pernah porak-poranda, hari ini kami berdiri—tegak dan kuat—karena
cinta dari dunia yang tak pernah pergi. []