Oleh: Siti Hajar
Di ufuk timur Indonesia, terbentang sebuah danau yang tidak hanya menampung air, tapi juga jiwa. Danau Sentani, namanya. Sebuah bentangan biru yang damai, dijaga bukit-bukit hijau yang seolah menjadi pagar tak kasat mata bagi dunia yang hidup dalam ketenangan dan tradisi.
Danau ini bukan sekadar lanskap bagi penduduk yang
tinggal di sekitarnya. Ia adalah nadi kehidupan, sumber air, tempat mencari
makan, dan juga altar bagi doa-doa yang tak terucap. Di atas permukaan air yang
tenang itu, setiap pagi terdengar riak pelan dari dayung yang menggerakkan
perahu kecil, membawa seorang bapak ke tengah danau, mencari ikan dengan
cara-cara yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ikan gabus, mujair, dan
udang kecil tak pernah dianggap remeh—mereka adalah rezeki, tanda bahwa alam
masih bersahabat.
Suku Sentani yang menghuni tepian danau sejak masa
lalu adalah pemilik kisah paling setia tentang danau ini. Mereka tidak melihat
danau sebagai tempat, tapi sebagai bagian dari tubuh dan identitas mereka.
Dalam bahasa, dalam tarian, dalam ukiran kayu, dan juga dalam kepercayaan,
danau ini hadir sebagai simbol kehidupan. Anak-anak suku Sentani belajar
berenang bahkan sebelum mereka benar-benar fasih membaca. Mereka bermain
bersama air dan alam seperti bermain dengan sahabat lama yang selalu
ada—menyambut, melindungi, dan mendidik.
Di musim-musim tertentu, terutama di bulan Juni,
Danau Sentani menjadi panggung besar bagi festival budaya yang menyatukan seni
dan alam. Festival Danau Sentani bukan sekadar acara wisata, tapi perayaan
identitas. Perahu-perahu hias melintasi danau, para penari menari di atas
rakit, dan langit pun seolah merunduk menyaksikan keindahan tradisi yang masih
bertahan di tengah laju modernitas.
Kini, dengan semakin dikenalnya Papua di mata
dunia, wisatawan pun mulai datang, tertarik pada janji keheningan, keaslian,
dan pesona. Dari Jakarta, perjalanan menuju danau ini memang panjang, melintasi
langit luas Indonesia. Pesawat akan membawamu ke Bandara Sentani, melewati
Makassar atau Timika, dalam waktu sekitar lima hingga tujuh jam tergantung
maskapai dan rute. Namun begitu menjejakkan kaki di bandara, danau sudah terasa
dekat—hanya belasan menit perjalanan, dan kamu akan melihat hamparan air biru dengan
latar pegunungan Cyclops yang menjulang pelan-pelan.
Transportasi di sana sederhana namun cukup. Ojek,
taksi lokal, atau mobil sewaan bisa membawamu menyusuri tepian danau,
mengunjungi kampung-kampung adat seperti Ayapo, Asei, atau Yoboi. Di
kampung-kampung ini, seni ukir dan lukis khas Sentani masih hidup, menempel
pada kulit kayu, menceritakan kisah leluhur yang hidup berdampingan dengan roh
alam.
Meski mayoritas penduduk di sekitar danau beragama
Kristen, kehidupan spiritual tetap terbuka dan ramah. Gereja-gereja kecil
berdiri kokoh di atas bukit dan tepian danau, namun masjid juga dapat
ditemukan, terutama di wilayah kota Sentani yang lebih heterogen. Doa bisa
dilantunkan dalam damai, karena di tempat ini, keberagaman bukan masalah—ia
adalah kenyataan yang dijaga.
Bagi pelancong, penginapan tersedia dalam ragam
yang bisa disesuaikan. Rumah panggung warga yang disulap menjadi homestay
sederhana, menyuguhkan bukan hanya tempat tidur tapi juga cerita dan
kehangatan. Ada pula hotel-hotel menengah hingga bintang tiga di pusat kota
Sentani, dengan jendela-jendela yang menghadap langsung ke danau, menawarkan
pagi-pagi yang tak akan pernah terlupakan.
Biaya perjalanan tentu tak murah, tapi juga tidak
mustahil. Tiket pesawat pulang-pergi dari Jakarta berkisar antara lima hingga
tujuh juta rupiah, tergantung musim. Tambahkan dengan penginapan selama dua
malam, makan, transportasi lokal, dan sedikit biaya masuk ke tempat-tempat
wisata, kamu bisa menjelajah Danau Sentani dengan dana sekitar tujuh hingga
delapan juta rupiah. Tentu bisa ditekan jika kamu memilih opsi lebih sederhana,
seperti menginap di homestay dan menikmati makanan lokal bersama warga.
Dari ulasan naratif tentang Danau Sentani di atas,
meskipun terlihat bahwa kawasan ini memiliki pesona yang sangat kuat dan budaya
yang kaya, ada beberapa catatan yang bisa menjadi masukan konstruktif bagi
pemerintah setempat, terutama jika ingin menjadikan Danau Sentani sebagai
destinasi unggulan tingkat nasional bahkan internasional. Berikut adalah
jabarannya:
Salah satu hal yang bisa lebih diperkuat adalah transportasi
publik lokal. Akses menuju Danau Sentani dari Bandara memang tergolong
dekat, tapi bagi wisatawan yang ingin menjelajahi kampung-kampung adat,
pulau-pulau kecil di danau, atau lokasi-lokasi terpencil, mereka seringkali
bergantung pada kendaraan pribadi atau sewaan yang tidak selalu mudah diakses
atau dikenali oleh wisatawan luar. Perlu adanya transportasi dan rute wisata
yang terstruktur, baik berupa perahu wisata yang berjadwal, ojek resmi, maupun
angkutan umum dengan tarif dan rute yang transparan.
Sarana informasi pariwisata juga menjadi hal krusial. Brosur
berbahasa Inggris, papan informasi multibahasa, dan pemandu wisata yang
terlatih akan sangat membantu wisatawan mancanegara memahami konteks budaya dan
nilai-nilai lokal yang begitu dalam. Tanpa itu, wisata bisa terasa hambar,
hanya sebatas melihat, tanpa mengalami.
Penginapan lokal yang sudah ada memang cukup, tapi perlu dibarengi
peningkatan dalam hal sanitasi, keamanan, dan standar pelayanan. Pelatihan bagi
pemilik homestay agar mampu memenuhi ekspektasi wisatawan modern—tanpa
menghilangkan keaslian lokal—merupakan langkah strategis.
Di sisi spiritualitas, meski kerukunan sudah
terjaga, pemerintah bisa lebih memfasilitasi wisatawan muslim dengan
menyediakan informasi tempat ibadah dan tempat makan halal secara terbuka.
Aplikasi atau peta sederhana akan sangat membantu, bahkan hanya sebatas daftar
lokasi masjid dan mushala terdekat.
Dan tentu, yang tak kalah penting: pengelolaan
sampah dan kelestarian lingkungan. Dengan naiknya jumlah wisatawan,
peningkatan limbah pun tidak terelakkan. Pemerintah dan komunitas lokal perlu
bersinergi dalam sistem pengelolaan sampah terpadu, edukasi kepada pengunjung,
serta perlindungan kawasan konservasi air dan hutan di sekeliling danau.
Akhirnya, Danau Sentani punya potensi besar
sebagai destinasi wisata kelas dunia. Tapi potensi itu hanya akan tumbuh jika
didukung oleh kebijakan yang tepat, penguatan kapasitas masyarakat lokal, dan
visi jangka panjang yang tidak hanya mengejar jumlah kunjungan, tapi juga
kualitas pengalaman dan keberlanjutan budaya. []