Oleh: Siti Hajar
Aceh tak pernah
kehabisan cara untuk membuat orang jatuh hati. Banda Aceh dan Sabang, dua
destinasi yang kerap disandingkan dalam satu rute liburan, adalah kombinasi
antara sejarah, alam, dan keramahan budaya yang membekas lama dalam ingatan
siapa pun yang datang. Bagi banyak wisatawan, pengalaman menyusuri garis pantai
Iboih, mengagumi keheningan Museum Tsunami, atau menikmati matahari terbenam di
Ulee Lheue adalah pengalaman yang menyentuh jiwa.
Namun,
sebagaimana tempat wisata yang terus berkembang, ada catatan-catatan kecil yang
perlahan mulai dibenahi. Beberapa pelancong mengisahkan bahwa saat mereka
melancong ke Banda Aceh atau menyeberang ke Sabang, sempat mengalami kesulitan
dalam mencari tempat makan atau sekadar ngopi karena banyak toko dan warung
yang tutup, terutama di waktu-waktu tertentu atau saat akhir pekan panjang.
Tak sedikit pula
yang merasa agak kesulitan menemukan tempat istirahat yang buka secara
konsisten di siang hari.
Selain itu, ada
pula catatan tentang pengelolaan sampah yang masih memerlukan perhatian lebih.
Di beberapa titik, terutama area wisata yang ramai, belum semua fasilitas
publik memiliki pengelolaan limbah yang baik. Hal ini tentu menjadi perhatian
penting jika Aceh ingin benar-benar menjadi tuan rumah yang menyambut wisatawan
secara profesional dan berkelanjutan.
Kisah lain
datang dari Sabang, di mana sebagian wisatawan merasa harga barang dan jasa
mendadak naik saat musim liburan. Ini laporannya sedikit. Walau sedikit,
lama-lama jika tidak diperhatikan akan membesar dan akan berpengaruh terhadap industry
wisata di Aceh.
Bagi pedagang,
agar tetap bersabar. Berilah harga yang normal dan wajar seperti hari-hari
libur biasanya. Jangan tamak, karena ini akan menghancurkan usaha kita sendiri.
Promosi dari
mulut ke mulut karena mereka puas jauh lebih baik daripada promosi besar baliho-baliho
di pinggir jalan maupun iklan di media sosial.
Tetaplah bijak.
Fenomena aji
mumpung ini memang bukan hanya terjadi di satu tempat saja di Indonesia, tetapi
perlu pengawasan lebih ketat agar tidak mencoreng citra destinasi yang indah
dan ramah ini. Keterbukaan informasi dan pengawasan harga akan menjadi agenda
penting agar wisatawan merasa aman, nyaman, dan ingin kembali lagi.
Namun di balik
itu, satu hal yang justru membuat Aceh begitu menggoda bagi wisatawan—terutama
dari luar daerah—adalah biaya liburannya yang sangat bersahabat. Banyak
keluarga dari luar Aceh mengaku bisa menikmati liburan sepuasnya tanpa harus
merogoh kantong terlalu dalam.
Makanan khas Aceh yang kaya rempah dan penuh
rasa bisa dinikmati dengan harga terjangkau. Akomodasi pun tersedia dari yang
ramah di kantong hingga yang mewah dengan pemandangan laut, semuanya tetap
dalam jangkauan. Transportasi dalam kota dan sewa kendaraan juga murah, bahkan
bisa dipesan melalui aplikasi daring. Satu-satunya yang kerap disorot adalah
tarif maskapai tertentu seperti Garuda Indonesia yang dinilai terlalu tinggi.
Namun selain itu, akses ke Aceh semakin terbuka dan mudah.
Yang menarik,
ada pergeseran pola kunjungan wisatawan ke Aceh. Tak hanya dari kalangan tua
atau keluarga, kini banyak anak muda yang menjadikan Banda Aceh dan Sabang
sebagai destinasi healing.
Mereka datang bukan hanya untuk berlibur,
tetapi juga untuk menenangkan diri, menjauh dari hiruk-pikuk kota besar, dan
menikmati kehidupan yang lebih sederhana dan damai. Di sinilah Aceh memberikan
pelukan hangatnya: laut yang membiru, angin yang tenang, dan suasana yang
syahdu.
Aceh sedang
terus berbenah. Pemerintah daerah dan pelaku wisata kini makin terbuka terhadap
masukan. Komunitas lokal juga mulai aktif mengedukasi soal kebersihan dan
pelayanan, serta mendukung usaha kecil agar tetap ramah dan jujur kepada
pengunjung.
Upaya
kolaboratif ini adalah kunci untuk memastikan bahwa Banda Aceh dan Sabang tidak
hanya dikunjungi sekali, tetapi selalu dirindukan untuk dikunjungi kembali.
Bagi siapa pun
yang belum pernah ke Aceh, mungkin inilah saatnya menjejakkan kaki ke ujung
barat Indonesia. Di sana, langit dan laut seperti berdialog dalam sunyi. Waktu
berjalan lambat, memberi ruang untuk menyimak detak hati sendiri. Aceh tidak
menjanjikan gemerlap, tapi menjanjikan ketulusan. Dan barangkali, itulah yang
paling dibutuhkan hari ini. []