Aceh dalam Pandangan Dunia & Ikonnya yang Menarik

 

Oleh: Siti Hajar

Bagi sebagian orang luar, Aceh adalah nama yang muncul di buku pelajaran sejarah—tentang perang melawan Belanda, tentang tokoh seperti Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, atau tentang tsunami yang mengguncang dunia di penghujung 2004. Namun bagi mereka yang pernah menjejakkan kaki di Tanah Rencong, Aceh jauh melampaui narasi sedih atau kisah masa lalu. Ia adalah perpaduan antara keteguhan dan kelembutan, antara tradisi dan keberanian, antara alam yang anggun dan budaya yang menggugah.

Dari kejauhan, Masjid Raya Baiturrahman seakan menjadi wajah resmi Aceh. Kubah-kubah hitamnya berdiri megah seperti mahkota di tengah kota Banda Aceh, menebar keteduhan dan keindahan. Tapi sesungguhnya, Aceh memiliki lebih dari satu wajah. Ia memiliki berbagai ikon yang mampu menarik hati masyarakat luar, bukan hanya karena bentuknya, tapi karena kisah di baliknya.

Sebutlah Tari Saman, tarian yang tak hanya menampilkan harmoni gerakan tapi juga kekompakan jiwa. Dari dataran tinggi Gayo, tarian ini menyeberang ke panggung-panggung dunia. Orang-orang menyaksikannya dengan mata membelalak, bertanya-tanya bagaimana manusia bisa bergerak secepat dan seteratur itu tanpa kehilangan napas. Tari Saman bukan sekadar hiburan, ia adalah seni yang menyuarakan nilai: kebersamaan, kekuatan, dan disiplin.

Lalu ada Gunongan, bangunan mungil seperti menara kapur yang menyimpan kisah cinta. Di sinilah Putroe Phang, permaisuri dari Pahang yang merindukan tanah kelahirannya, dihibur oleh keindahan taman yang dibangun khusus oleh Sultan Iskandar Muda. Gunongan adalah wujud cinta dan diplomasi, simbol dari bagaimana Aceh pernah menjadi kerajaan besar yang menjalin hubungan antarbangsa.

Tak jauh dari romantisme sejarah, kita bersua dengan Kapal Apung PLTD, kapal raksasa yang terdampar di tengah perkampungan setelah diseret gelombang tsunami. Dulu ia hanyalah bagian dari fasilitas kelistrikan. Tapi kini, ia berdiri kokoh sebagai monumen ketahanan. Masyarakat dunia yang datang ke Banda Aceh sering menyebutnya sebagai simbol harapan—betapa dari puing, kehidupan bisa disusun kembali.

Namun ada satu ikon yang mampu menjangkau dunia tanpa perlu bicara, tanpa perlu berdiri tegak seperti bangunan, atau menari seperti tradisi. Ia hadir dalam bentuk rasa dan aroma. Ia adalah Kopi Gayo—si hitam pekat yang harum dan dalam. Ditanam di tanah tinggi Aceh Tengah, di bawah kabut dan sinar matahari yang malu-malu, biji-biji kopi ini tumbuh perlahan, menyerap kesabaran petaninya dan keheningan alamnya. Para penikmat kopi dari Eropa hingga Amerika menyebutnya sebagai salah satu kopi terbaik dunia. Tapi bagi orang Gayo, kopi bukan hanya minuman; ia adalah warisan, penghidupan, bahkan identitas.

Banyak tamu dari luar negeri datang ke dataran tinggi Takengon bukan hanya untuk menyeruput kopi segar, tapi untuk menyaksikan sendiri bagaimana kopi itu ditanam, dipetik, dikeringkan, dan disangrai dengan cara-cara yang masih dijaga secara turun-temurun. Di warung-warung kopi kecil yang menghadap ke Danau Lut Tawar, pembicaraan mengalir bersama uap kopi yang mengepul—tentang masa lalu, tentang harapan, tentang Aceh.

Tak lengkap membicarakan Aceh tanpa menyebut Rencong, senjata tradisional yang khas. Bukan hanya senjata dalam makna harfiah, rencong adalah lambang harga diri. Ia tak dihunus sembarangan, tapi dipakai dengan kehormatan. Banyak wisatawan dan peneliti budaya yang tertarik mempelajari filosofi rencong, yang konon bentuknya menggambarkan huruf "ba" dalam aksara Arab, sebagai simbol bismillah.

Bahkan pantai-pantai Aceh seperti Lampuuk, Lhoknga, dan Ulee Lheue kini tak lagi sekadar tempat bersantai besama keluarga. Ia menjadi ruang kontemplasi, tempat orang-orang luar merenungkan kembali makna kehidupan setelah menyaksikan bagaimana laut pernah murka dan bagaimana manusia bisa kembali membangun dari awal.

Masyarakat luar mengenal Aceh bukan hanya dari berita dan sejarah, tapi juga dari ikon-ikon yang berbicara dalam diam. Dalam tarian, bangunan, secangkir kopi, hingga senjata adat—Aceh mengirim pesan bahwa ia adalah daerah yang tidak hanya kaya secara alam, tapi juga dalam jiwa dan warisan.

Aceh tidak sekadar dikenal, ia dikenang. Dan dari waktu ke waktu, semakin banyak yang ingin mengenalnya lebih dekat—karena di balik semua yang tampak, Aceh menyimpan kisah yang selalu layak untuk diceritakan ulang.[]

Lebih baru Lebih lama