Oleh: Siti Hajar
Idul Fitri tahun
ini terasa berbeda di Banda Aceh. Kehadiran Tol Sigli–Banda Aceh (Tol Sibanceh)
benar-benar menjadi jalur emas yang menghubungkan pesisir timur dengan kota
Serambi Mekkah. Arus kendaraan dari arah Medan, Lhokseumawe, hingga Langsa
begitu deras memasuki Banda Aceh sejak dua hari sebelum lebaran. Keindahan kota
ini yang memadukan kekuatan sejarah, keagungan Islam, dan kehangatan budaya
lokal, menjadi alasan mengapa banyak wisatawan menetapkan Banda Aceh sebagai
tujuan utama libur Idul Fitri 2025.
Di antara
deretan destinasi yang dituju, tujuh tempat wisata ini tercatat paling ramai
dikunjungi, menyimpan cerita dan kesan mendalam bagi siapa pun yang
menginjakkan kaki di sana.
1. Masjid
Raya Baiturrahman
Ikon yang tak
tergantikan, berdiri kokoh dan anggun di jantung kota. Arsitektur bergaya
Mughal, kubah hitamnya yang megah, dan suasana sejuk di tengah hiruk pikuk kota
membuat masjid ini menjadi magnet pertama bagi para tamu. Mereka datang tak
hanya untuk menunaikan shalat, tetapi juga mengagumi keindahan bangunan dan
keheningan spiritual yang sulit didapatkan di tempat lain. Bahkan ketika malam
tiba, masjid ini tetap hidup dengan lampu-lampu yang menyala lembut dan
lantunan zikir yang tak henti-henti.
2. Museum
Tsunami Aceh
Museum ini
menjadi ruang kontemplasi di tengah riuhnya perayaan. Selama lebaran,
pengunjung memadati lorong-lorongnya yang sunyi, menyimak kisah luka dan
ketabahan Aceh dari tragedi 2004. Desain arsitekturnya menggugah, lorong gelap
yang mengalirkan suara azan menjadi bagian paling menyentuh hati. Orang tua
menggandeng anak-anak mereka sambil membisikkan kisah, mengenalkan nilai
syukur, empati, dan kekuatan dalam menghadapi musibah. Banyak yang keluar dari
museum ini dengan mata berkaca-kaca, tapi juga hati yang lebih penuh.
Museum ini bukan
sekadar tempat menyimpan barang peninggalan bencana. Ia adalah ruang renungan,
tempat orang-orang diam sejenak, menyerap pelajaran dari gelombang dahsyat yang
pernah merenggut ribuan nyawa. Saat lebaran, antrean pengunjung mengular. Anak-anak
duduk serius menyimak diorama, orang tua bergumam mengucap doa. Desain lorong
gelap yang membawa suara azan bergema masih menjadi bagian yang paling
menyentuh hati siapa pun yang masuk ke dalamnya.
3. Pantai
Ulee Lheue
Tak jauh dari
pusat kota, pantai ini menjadi pilihan utama bagi keluarga yang ingin bersantai
sambil menikmati angin laut. Anak-anak bermain pasir, orang tua duduk di tikar
menyantap rujak Aceh, dan muda-mudi memadati dermaga demi mendapatkan latar
foto matahari tenggelam yang memesona. Di sore hari, suasana di Ulee Lheue
begitu hangat—riuh, tapi tetap damai.
4. PLTD Apung
1
Kapal raksasa
yang dulunya berfungsi sebagai pembangkit listrik ini terdampar ke tengah kota
oleh tsunami, dan kini menjadi saksi bisu yang diabadikan sebagai monumen
sejarah. Rasanya selalu merinding ketika berada di dekat kapal ini. Pengunjung
naik ke dek kapal, memandang ke sekeliling kota, dan membayangkan kedahsyatan
alam yang pernah menyapu kawasan ini. Tapi lebih dari itu, PLTD Apung juga
menjadi simbol kebangkitan, bahwa Aceh tak tinggal dalam duka.
5. Pantai
Lampuuk
Sekitar 30 menit
berkendara dari pusat kota, Lampuuk menyambut dengan pasir putih, air biru
jernih, dan suara ombak yang menenangkan. Di hari raya, tempat ini menjadi
lautan manusia. Beberapa datang untuk berenang, yang lain menanti sunset sambil
menikmati ikan bakar segar yang dijajakan di pondok-pondok sederhana. Ada yang
duduk dalam diam, hanya mendengarkan suara alam—mungkin mencoba berdamai dengan
kehidupan lewat keindahan yang sederhana.
6. Gunongan
dan Taman Putroe Phang
Di balik kisah
cinta Sultan Iskandar Muda dan permaisurinya, berdirilah Gunongan, bangunan
unik berwarna putih yang menjadi simbol kesetiaan dan kasih. Kawasan ini tak
hanya menawarkan wisata sejarah, tapi juga keindahan taman dan suasana yang
tenang. Banyak keluarga yang membawa anak-anak mereka untuk mengenal sejarah
sambil bermain, dan banyak pula pasangan muda yang mengabadikan momen cinta
mereka di tempat yang dibangun atas dasar cinta itu sendiri.
7. Taman Sari
Bustanussalatin
Taman ini hidup
saat sore menjelang. Pepohonan rindang dan lintasan pejalan kaki dipenuhi
anak-anak yang berlarian, remaja yang berswafoto, dan keluarga yang duduk
bersila menikmati cemilan ringan dari pedagang kaki lima. Kadang terdengar
lantunan musik tradisional atau pertunjukan seni kecil-kecilan yang membuat
suasana semakin hangat. Ini adalah jantung kehidupan kota—ruang bertemu dan
bercengkerama semua lapisan masyarakat.
8. Museum Aceh dan Rumoh Aceh
Tak jauh dari Masjid Raya, kompleks Museum Aceh menyimpan banyak koleksi benda bersejarah, manuskrip kuno, dan simbol budaya lokal. Rumoh Aceh—rumah adat tradisional yang menjulang tinggi—sering menjadi latar favorit untuk foto keluarga. Anak-anak belajar tentang warisan, orang tua mengenang masa kecil. Sebuah destinasi yang mempertemukan masa lalu dan masa depan dalam satu halaman yang lapang.Akomodasi
Ramah Wisatawan
Selama lebaran,
hotel-hotel di Banda Aceh hampir penuh terisi. Namun, wisatawan tetap bisa
menemukan banyak pilihan akomodasi yang nyaman dan terjangkau. Untuk backpacker
dan pelancong solo, tersedia penginapan lokal dengan harga mulai Rp200.000 per
malam. Sementara untuk keluarga, hotel bintang tiga hingga empat seperti Hermes
Palace, Grand Arabia, atau Seventeen Hotel menjadi pilihan favorit, dengan
harga kisaran Rp400.000 hingga Rp800.000 per malam. Lokasinya yang strategis
memudahkan akses ke berbagai destinasi wisata.
Tempat
Belanja Oleh-Oleh Khas Aceh
Liburan tak
lengkap tanpa membawa pulang sesuatu. Di Banda Aceh, oleh-oleh bukan hanya
sekadar barang—ia adalah cerita yang dibungkus rapi. Di kawasan Lamnyong dan
sekitar Jalan Teuku Panglima Polem, berjajar toko oleh-oleh yang menjual
berbagai makanan khas: kopi Gayo, dodol Aceh, meuseukat, aneka keripik, hingga
manisan pala. Untuk cendera mata, tersedia kaus bertuliskan “I Love Banda
Aceh”, gantungan kunci berbentuk PLTD Apung atau Masjid Raya, serta kain
songket Aceh yang cantik. Hasanah Oleh-Oleh dan Kios Bunda adalah dua nama yang
paling sering direkomendasikan oleh para pelancong.
Banda Aceh, saat
lebaran, bukan hanya tentang silaturahmi. Ia menjadi ruang terbuka yang
menyambut semua orang dengan cerita, keindahan, dan kehangatan. Perjalanan ke
sini bukan hanya untuk melihat tempat-tempat menarik, tapi untuk merasakan
denyut sejarah, spiritualitas, dan kebaikan yang hidup dalam keseharian
masyarakatnya. Dan siapa pun yang datang, selalu membawa pulang lebih dari
sekadar kenangan. []