Oleh: Siti Hajar
Tiga hari menjelang bulan suci Ramadhan tahun 1996, duka mendalam
menyelimuti Aceh. Pada 19 Januari, KMP Gurita tenggelam di perairan Ujung
Seuke, Sabang, dalam perjalanan dari Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh. Kapal
yang membawa 378 penumpang itu karam di tengah lautan setelah menghadapi cuaca
buruk dan ombak tinggi. Malam yang seharusnya dipenuhi persiapan menyambut
Ramadhan berubah menjadi tragedi kelam. Tangis dan ratapan kehilangan terdengar
di banyak rumah, karena keluarga yang dinanti tak pernah kembali.
Dalam musibah tersebut, hanya 40 orang yang berhasil diselamatkan,
sementara 54 lainnya ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Lebih menyedihkan
lagi, 284 orang dinyatakan hilang dan tak pernah ditemukan.
Upaya Pencarian Korban dan Duka yang Tak Berujung
Saat KMP Gurita tenggelam di perairan Ujung Seuke pada malam itu, kepanikan
dan ketakutan menyelimuti lautan yang gelap. Gelombang tinggi serta angin
kencang semakin memperburuk keadaan, membuat banyak penumpang tidak sempat
menyelamatkan diri. Mereka yang masih bertahan di air hanya bisa berpegang pada
puing-puing kapal atau saling berpegangan dengan harapan ada bantuan yang
datang. Kegelapan malam dan keterbatasan alat keselamatan di kapal membuat
banyak nyawa tidak tertolong. Beberapa nelayan yang berada di sekitar lokasi
mencoba membantu, tetapi cuaca buruk membuat upaya penyelamatan semakin sulit.
Tim SAR baru bisa melakukan operasi pencarian keesokan harinya setelah
laporan tenggelamnya kapal sampai ke otoritas terkait. Dengan menggunakan kapal
pencari dan pesawat, mereka menyisir lautan, berharap menemukan korban yang
masih hidup. Namun, kenyataan pahit harus diterima. Banyak jasad yang ditemukan
terapung di lautan, sementara ratusan lainnya tidak pernah ditemukan. Keluarga
korban yang menunggu di darat hanya bisa pasrah dan berharap keajaiban. Tangis
dan duka menyelimuti pelabuhan serta rumah-rumah para korban, terutama karena
kejadian ini terjadi di bulan Ramadhan, saat kebanyakan dari mereka seharusnya
berkumpul bersama keluarga untuk menyambut Idul Fitri. Tragedi ini tidak hanya
meninggalkan luka mendalam bagi keluarga yang kehilangan, tetapi juga menjadi
bagian dari sejarah kelam transportasi laut di Aceh yang dikenang hingga kini.
Sampai saat ini alasan terjadinya tragedi ini belum diketahui dengan jelas dan
masih menjadi perdebatan. Beberapa dugaan menyebutkan kapal kelebihan muatan,
sementara faktor cuaca buruk, gelombang tinggi, dan kondisi kapal yang mungkin
tidak laik berlayar juga turut menjadi faktor penyebab tenggelamnya kapal ini.
Dalam perjalanan menuju Sabang, kapal menghadapi cuaca buruk dengan
gelombang tinggi dan angin kencang. Diduga kapal mengalami ketidakseimbangan
dan akhirnya karam di tengah laut. Banyak penumpang yang tidak sempat
menyelamatkan diri, terutama karena kondisi malam yang gelap dan keterbatasan
alat keselamatan di kapal.
Hingga kini, tragedi KMP Gurita masih dikenang sebagai luka mendalam bagi
masyarakat Aceh, terutama keluarga korban yang kehilangan orang-orang tercinta
di bulan penuh berkah.[]