Teungku Chik di Tiro: Ulama Pejuang yang Tak Pernah Takut Mati

 


Oleh: Siti Hajar

Jika ada satu nama yang menggambarkan keberanian, keimanan, dan kecintaan terhadap tanah air, maka itu adalah Teungku Chik di Tiro. Beliau bukan sekadar seorang ulama, tetapi juga panglima perang yang memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Nama beliau harum di langit Aceh, diingat dengan penuh kebanggaan oleh setiap anak negeri.

Lahirnya Pejuang dari Dayah

Teungku Chik di Tiro, atau nama aslinya Muhammad Saman, lahir pada tahun 1836 di Tiro, sebuah daerah di Pidie, Aceh. Beliau tumbuh dalam lingkungan religius. Ayah dan kakeknya adalah ulama besar yang mendidiknya dengan ilmu agama serta semangat jihad. Pendidikan agama beliau ditempuh di dayah (pesantren), tempat di mana ia mengasah pemahaman Islam sekaligus menempa jiwa kepemimpinannya.

Sejak kecil, Muhammad Saman sudah memahami satu hal: Islam dan Aceh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika Belanda mulai memperluas cengkeramannya ke bumi Serambi Makkah, beliau tidak tinggal diam. Baginya, membiarkan penjajah menguasai Aceh sama saja dengan membiarkan Islam dihina.

Dari Mimbar ke Medan Perang

Ketika Sultan Mahmud Syah meninggal dunia dan perjuangan Aceh semakin terdesak oleh Belanda, Muhammad Saman bangkit. Pada tahun 1881, beliau diangkat sebagai Imam Perang Besar Aceh dan menggantikan pemimpin jihad sebelumnya. Sejak saat itu, namanya berubah menjadi Teungku Chik di Tiro—sebuah nama yang kelak menggetarkan Belanda.

Dengan strategi gerilya dan semangat tak kenal takut, beliau menggerakkan perlawanan dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak hanya bertempur dengan pedang, tetapi juga dengan kata-kata. Khotbah dan syair-syair jihadnya membakar semangat rakyat, mengingatkan mereka bahwa mati dalam perjuangan adalah syahid, hidup dalam penjajahan adalah kehinaan.

Perlawanan yang Membuat Belanda Kewalahan

Pasukan Aceh di bawah komando Teungku Chik di Tiro tidak mudah ditaklukkan. Mereka bergerak lincah di hutan dan pegunungan, menyerang pos-pos Belanda, dan menghilang sebelum musuh bisa membalas. Belanda, yang terbiasa menghadapi perang konvensional, kebingungan menghadapi taktik gerilya yang diterapkan oleh ulama-pejuang ini.

Selain berperang, Teungku Chik di Tiro juga membangun sistem pemerintahan Islam di daerah yang ia kuasai. Ia mengangkat qadhi (hakim), menerapkan hukum Islam, dan memastikan bahwa perjuangan ini bukan sekadar perang fisik, tetapi juga jihad menegakkan syariat di tanah Aceh.

Akhir Hayat Sang Syuhada

Seperti banyak pahlawan besar lainnya, Teungku Chik di Tiro tidak gugur dalam pertempuran, tetapi dikhianati. Belanda, yang tidak mampu mengalahkannya secara militer, menggunakan racun sebagai senjata. Pada tahun 1891, beliau diracun oleh seorang penghianat yang menyusup ke barisan perjuangan. Beliau meninggal dunia dalam keadaan syahid, dan jasadnya dimakamkan di Tiro, tempat ia lahir dan membangun perjuangannya.

Warisan yang Tak Pernah Padam

Hari ini, nama Teungku Chik di Tiro bukan hanya dikenang dalam buku sejarah, tetapi juga hidup dalam hati rakyat Aceh. Namanya diabadikan menjadi nama bandara di Banda Aceh, sebagai pengingat bahwa keberanian dan semangat jihadnya masih menginspirasi generasi penerus.

Teungku Chik di Tiro mengajarkan kita bahwa perjuangan tidak selalu harus dilakukan dengan senjata. Ia bisa dilakukan dengan ilmu, dengan kata-kata, dengan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Seorang ulama tidak hanya mengajarkan Islam di masjid, tetapi juga di medan perang, di tengah rakyat yang membutuhkan pemimpin sejati.

Inilah kisah seorang ulama yang tidak takut mati, karena ia tahu bahwa di balik kematian itu ada kemenangan yang lebih besar: kemuliaan di sisi Allah dan kebebasan bagi negerinya.[]

 

Lebih baru Lebih lama