Monas, Teuku Marqam, dan Simbol Lingga Yoni

 

Sumber: https://www.tripsavvy.com

Oleh: Siti Hajar

Di jantung Jakarta, berdiri sebuah monumen yang bukan sekadar tumpukan beton dan logam. Monumen Nasional, atau yang lebih akrab disebut Monas, menjulang setinggi 132 meter, menjadi saksi bisu perjalanan panjang bangsa Indonesia. Monumen ini bukan hanya soal kemegahan, tetapi juga simbol perjuangan, kebebasan, dan tekad yang membara untuk merdeka. Bentuknya yang menyerupai lingga dan yoni, melambangkan kesuburan dan keseimbangan, menjadi metafora bagi kejayaan negeri ini.

Namun, ada satu detail yang sering kali terabaikan dalam kisah Monas. Di puncaknya, terdapat lidah api yang berlapis emas, berkilau di bawah sinar matahari. Emas itu bukan sekadar hiasan, bukan pula sekadar kemewahan. Ada jejak sejarah yang melekat di sana, jejak seorang anak bangsa yang namanya jarang disebut dalam buku-buku pelajaran. Dialah Teuku Markam, seorang pengusaha asal Aceh yang memiliki peran penting dalam pembangunan monumen ini.

Markam bukanlah tokoh sembarangan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia pada masanya. Kegemilangannya bukan hanya dalam bisnis, tetapi juga dalam keberpihakannya kepada negeri. Ia dikenal dekat dengan Presiden Soekarno, bukan karena sekadar pertemanan, tetapi karena kecintaannya pada Indonesia yang ia wujudkan dalam tindakan nyata. Ketika pembangunan Monas memerlukan emas untuk melapisi puncaknya, Markam tanpa ragu menyumbangkan 28 kilogram emas dari hartanya sendiri.

Bagaimana mungkin seorang pengusaha asal Aceh begitu lekat dengan proyek besar ibu kota? Jawabannya terletak pada sejarah panjang Aceh sendiri. Sejak masa kesultanan, Aceh dikenal sebagai daerah yang kaya akan emas. Para pedagang dan saudagar Aceh sudah lama terbiasa dengan perdagangan emas, menjadikannya bagian dari budaya dan ekonomi mereka. Bahkan, dalam banyak kesempatan, rakyat Aceh berkontribusi besar terhadap perjuangan nasional, termasuk saat Indonesia membutuhkan pesawat pertama untuk memperkuat pertahanannya.

Sumbangan emas Markam untuk Monas bukan hanya soal angka. Ia adalah simbol pengorbanan, cinta tanah air, dan semangat berbagi. Ironisnya, nama Markam tidak sepopuler tokoh-tokoh lain dalam sejarah bangsa ini. Padahal, jejak tangannya ada di salah satu ikon terbesar negeri ini. Seiring waktu, kisahnya perlahan terlupakan, tertutup oleh gemerlapnya Jakarta yang terus berkembang.

Pembangunan Monas sendiri dimulai pada 17 Agustus 1961, di bawah perintah Presiden Soekarno. Ia menginginkan sebuah monumen yang bisa menjadi simbol kebangkitan bangsa, seperti halnya Menara Eiffel di Paris. Arsiteknya adalah Friedrich Silaban, seorang tokoh penting di dunia arsitektur Indonesia yang sebelumnya juga merancang Masjid Istiqlal. Namun, karena konsep awalnya dinilai kurang sesuai dengan karakter budaya Indonesia, desain akhir Monas disempurnakan oleh Soedarsono, yang kemudian memasukkan filosofi lingga dan yoni sebagai lambang kesuburan.

Monas akhirnya diresmikan pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto, setelah pembangunan yang berlangsung selama lebih dari satu dekade. Sejak saat itu, Monas menjadi salah satu destinasi utama di Jakarta, baik bagi wisatawan domestik maupun internasional.

Namun, waktu tak berhenti. Monas pun mengalami berbagai renovasi. Pada tahun 1995, dalam rangka memperingati 50 tahun kemerdekaan Indonesia, dilakukan pemugaran besar-besaran, termasuk peremajaan di bagian pelataran dan taman sekitarnya. Pada tahun 2010, lapisan emas di puncaknya juga diperbarui agar tetap berkilau. Terakhir, pada tahun 2019, kawasan Monas mengalami revitalisasi besar yang mencakup perbaikan tata ruang dan penghijauan, meskipun proyek ini sempat menuai pro dan kontra.

Monas berdiri kokoh hingga hari ini, menjadi tempat yang dikunjungi jutaan orang setiap tahunnya. Banyak yang memandang kagum pada kilauan emas di puncaknya, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa di sana tersimpan kisah seorang anak Aceh yang hartanya melebur bersama sejarah bangsa. Sebuah kisah tentang bagaimana sesuatu yang bersinar di atas sana berasal dari tangan yang tak banyak mendapat sorotan, namun memberikan cahaya bagi negeri

Lingga dan Yoni-Simbol Filosofis dalam Arsitektur Monas

Lingga dan yoni adalah simbol dalam budaya Hindu-Buddha yang melambangkan keseimbangan dan kesuburan. Lingga mewakili kekuatan laki-laki, energi, dan kejayaan, sedangkan yoni melambangkan kesuburan, ibu pertiwi, dan kehidupan. Dalam konteks ini, lingga sering dikaitkan dengan Dewa Siwa sebagai pencipta, sedangkan yoni melambangkan Dewi Parwati sebagai lambang kesuburan dan kehidupan.

Pada Monumen Nasional (Monas), konsep lingga dan yoni sangat jelas dalam desain arsitekturnya. Bagian tugu yang menjulang tinggi melambangkan lingga, yang merepresentasikan semangat perjuangan dan kejayaan bangsa Indonesia. Sementara itu, bagian dasar Monas berbentuk cawan besar melambangkan yoni, yang menggambarkan kesuburan dan kekuatan rakyat sebagai pendukung negara. Kombinasi ini mencerminkan keseimbangan antara kekuatan dan kelangsungan hidup, menciptakan makna yang lebih dalam tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya.

Kaitan Monas dan Gedung MPR RI

Tak hanya Monas, konsep lingga dan yoni juga diterapkan dalam desain Gedung MPR/DPR RI. Atap Gedung Nusantara yang berbentuk setengah kubah hijau mencerminkan konsep yoni, sebagai perlambang tempat yang menaungi dan melindungi kehidupan politik Indonesia. Sedangkan ruang sidang utama dan menara yang menjulang tinggi dapat dikaitkan dengan konsep lingga, sebagai pusat kekuasaan dan pengambilan keputusan negara.

Jika Monas menggambarkan kejayaan dan semangat perjuangan bangsa, maka Gedung MPR/DPR RI mencerminkan fungsi pemerintahan yang berakar pada prinsip keseimbangan dan keadilan. Keduanya sama-sama dibangun dengan filosofi yang mendalam, menunjukkan bahwa dalam membangun negara, diperlukan keseimbangan antara kekuatan, kebijakan, dan kesejahteraan rakyat.

Baik Monas maupun Gedung MPR/DPR RI adalah simbol monumental yang tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga mengandung makna filosofis tentang bagaimana Indonesia harus dijalankan—dengan semangat juang yang tinggi, tetapi tetap berpijak pada prinsip keseimbangan dan keberlanjutan. []

Bottom of Form

 

Lebih baru Lebih lama